Tidak semua siswa harus bisa memainkan keyboard kan? Aku mendengus kesal. Bu Gladys semena-mena memberikan nilai D kepadaku di ujian tengah semester hari Kamis lalu. Sekarang aku harus latihan keyboard setiap hari supaya nilaiku aman di rapor nanti. Konyol.
"Aki!" panggil sebuah suara. Aku berhenti berjalan. Itu Bu Gladys. Air mukanya dingin. Aku tahu dari gosip, sejak anak semata wayangnya sakit dan koma selama hampir dua tahun, Bu Gladys memang tidak pernah tersenyum lagi.
"Latihan lagi?" tanyanya.
"Iya," sahutku.
"Bagus. Kalau lagu Happy Birthday to You susah, cari yang lebih mudah," katanya sedetik sebelum akhirnya melenggang pergi.
Aku melengos. Tentu saja setelah guru seni yang galak itu pergi. Hari ini hampir semua teman sekolahku pulang ke alamnya masing-masing. Kecuali aku sejak beberapa hari belakangan ini dan beberapa orang yang mengikuti ekskul. Baiklah, setiap hari aku akan pulang sore.
Aku berjalan lagi ke ruang kesenian. Ada beberapa instrumen di sana, yang hampir semuanya tidak bisa kumainkan. Keyboard, drumset, beberapa gitar, seonggok piano besar yang tidak pernah disentuh, dan beberapa alat musik lainnya yang tidak kalah berdebu. Lagipula ruangan itu memang agak tersembunyi dan jarang dipakai kecuali pada saat-saat tertentu saja. Lebih mirip gudang alat musik sebenarnya.
Saat aku semakin dekat, kudengar suara dentingan piano lembut. Nada-nadanya tidak biasa, tetapi anehnya terdengar indah. Yang tidak kalah anehnya, aku selalu mendengar suara-suara itu tanpa tahu siapa yang memainkannya. Karena seringkali orang itu pergi sebelum aku sempat melihatnya.
Aku menguping dari pintu. Tiba-tiba suara itu berhenti. Digantikan dengan suara seorang cowok.
"Siapa di sana?"
"Eh?" Kok dia tahu aku di sini? Pintunya tertutup loh. Kok bisa ya?
Aku membuka pintu ruangan itu lebar-lebar, sehingga timbul suara berderit. Tampak seorang cowok berseragam sepertiku yang duduk di balik piano klasik itu. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin adik kelas. Tapi kelihatannya dia lebih tua dariku. Setidaknya pertanyaanku akhir-akhir ini terjawab sudah.
"Kok berhenti?" tanyaku sedikit kesal. Padahal aku ingin dengar lebih lanjut.
"Bukan urusanmu," jawabnya ketus, "Ngapain nguping?"
Aku langsung salah tingkah.
"Hmm... mungkin aku harus─" aku menunjuk ke luar ruangan, "─pergi," lanjutku tidak enak.
Cowok itu tidak menjawab. Dia cuma memencet tuts-tuts piano ringan. Memainkan lagu yang sama kurasa.
Aku mencibir. Dasar sombong.
Aku menutup pintu ruangan itu keras-keras. Suara instrumental itu semakin samar seiring aku menjauhi ruangan itu. Tiba-tiba, aku berpapasan kembali dengan Bu Gladys.
"Loh? Nggak jadi latihan?"
"Ada yang pakai piano, Bu," kataku beralasan.
"Trus kalau ada yang pakai piano, kamu jadi nggak bisa pakai keyboardnya?"
Aku meringis sebelum akhirnya berkata, "Bisa, Bu,"─Tapi berisik, lanjutku dalam hati kesal. Aku kembali ke ruang kesenian, dan kaget sewaktu menyadari tidak ada seorangpun di sana. Cowok tadi ke mana? Kok aku tidak lihat ada yang keluar ya?
***
Esoknya, aku meluangkan waktu istirahat untuk ke perpustakaan. Lagu Happy Birthday to You memang kelihatannya simpel, tapi bagiku itu lumayan susah. Mungkin aku perlu cari lagu lain yang lebih mudah. Bu Gladys menyebalkan sekali.
Tiba-tiba mataku menangkap wajah yang kukenal di depan rak. Cowok yang kemarin! Dia tengah membaca buku yang kelihatannya bukan buku perpustakaan karena terlihat seperti buku agenda biasa.
"Aki!" sapa seseorang, separuh berbisik. Ternyata Kanya, teman sekelasku. Dia berjanji akan mengajariku memainkan keyboard sepulang sekolah nanti. Jadi saat jam istirahat dia menemaniku mencari buku lagu sederhana. "Hampir masuk loh," tambahnya.
Aku memberi isyarat oke kepadanya. Lalu melempar mataku lagi ke rak buku. Cowok itu sudah tidak ada. Mataku menyapu bersih setiap detail ruangan di perpustakaan. Tidak ada.
Aneh benar.
Aku menghampiri rak tempatnya berdiri tadi. Tetapi buku yang dia pegang tadi ada di sana. Tanganku terjulur untuk meraihnya. Kubaca tulisan di sampulnya. "Milik Funan".
Ini memang bukan buku perpustakaan, kubuka isinya.
Halaman pertama, kosong.
Halaman kedua, kosong.
Halaman ketiga, kosong.
Halaman terakhir, masih kosong.
Aneh banget sih. Mengapa tidak ada apa-apanya begini? Lalu, cowok tadi baca apa dong?
Kuletakkan buku itu kembali ke rak. Saat aku membalik badan, aku mendengar suara jatuh. Buku itu.
Aku memungutnya, mau mengembalikannya lagi ke tempat semula. Tapi, mataku tertumbuk pada sesuatu. Ada coretan-coretan notasi di halaman tengah agenda itu. Karena penasaran, aku jadi urung mengembalikannya.
Jadi, sepulang sekolah, aku membawa buku itu ke ruang musik dan mencoba memainkannya dengan keyboard. Sembari menunggu Kanya yang mendadak ada rapat OSIS. Lagu dalam agenda itu susah sekali, tapi bahkan aku yang bodoh dalam musik pun tahu lagu apa ini begitu mencoba memainkannya. Ini adalah lagu yang selalu dimainkan cowok itu.
Terbata-bata, aku mencoba memainkannya hingga habis. Tetapi lagunya berhenti di tengah jalan. Mungkinkah lagu ini belum selesai? Sehingga aku tidak pernah mendengar permainan cowok itu hingga selesai meski aku sering menguping.
"Itu bukan lagumu," seseorang berkata. Cowok itu.
"Funan?" tanyaku ragu-ragu. Aku berdiri, lalu menyodorkan buku agenda itu padanya.
"Lagian kau buta nada ya?"
Menyebalkan. Nada bicaranya mirip sekali dengan Bu Gladys, yang menganggap semua siswa harus bisa memainkan keyboard.
"Sorry. Ini punyamu ya?"
Funan, mungkin itu namanya, tidak menjawab. Ah, lagipula untuk apa menjawab kalau aku sudah tahu jawabannya. Dia bahkan tidak menerima agenda yang kusodorkan. Aku menurunkan tanganku.
"Namaku Aki."
"Aku tahu," sahut si cowok. Eh, tahu dari mana?
Cowok itu melangkah menuju piano klasik yang biasa ia mainkan. Bak tersihir, anehnya kuikuti pula langkah kakinya. Kulihat badge di bahu kirinya menunjuk angka XI. Dia bukan adik kelas. Dia seangkatan denganku. Aneh! Kalau dia seangkatan denganku, mengapa kami tidak pernah bertemu sebelumnya?
"Kenapa lagunya berhenti di sini?"
"Itu belum rampung."
"Kok nggak diselesaikan?"
"Nggak sempat lagi."
"Kenapa nggak sempat?"
Cowok itu duduk di balik piano klasik itu. "Takdir tidak bisa diubah," jawabnya , lalu mulai memencet tuts-tuts piano itu. Lagu yang sama. Aku kehilangan keinginan untuk bicara. Ada sesuatu yang asing dari cowok ini.
"Oh, ya, namamu─" aku diam sejenak, "Funan, kan?"
Dia tidak menjawab. Dia bahkan tidak mengangkat kepalanya untuk menatapku.
"Aku... umm... menemukan buku ini di perpustakaan. Kau pasti lupa dan... umm... meninggalkannya di sana," kataku tanpa ditanya. Ada sesuatu tentang cowok ini yang membuatku gugup.
Lagu itu berhenti di titik yang sama. Aku ingat, lagu itu belum selesai.
"Mau coba?" tawarnya padaku.
Mataku melebar, antara kaget dan senang. "Bolehkah?"
Dia mengangguk. Aku duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya aku lihat cowok itu tersenyum. Tiba-tiba saja telponku berbunyi. Panggilan dari Kanya. "Sorry," kataku. Aku mengangkat telpon itu.
"Aki, di mana?" tanya Kanya di seberang sana.
"Di ruang kesenian."
"Oke, aku sebentar lagi ke situ. Maaf, kayaknya kita nggak bisa latihan bareng deh," katanya.
"Loh? Kenapa?" tanyaku.
"Nanti kujelaskan."
Setelah itu, Kanya mematikan telponnya. Aku menoleh kepada Funan, "Maaf, aku keluar sebentar ya. Nanti ajari aku ya. Sampai ketemu ya."
Aku keluar dari ruang kesenian. Persis saat Kanya baru akan masuk ke dalam. Rautnya serius.
"Maaf, Ki. Aku nggak bisa bantu kamu latihan hari ini."
"Nggak papa, ada yang ajari aku kok," kataku.
"Maaf ya. Barusan aku ada kabar, anak Bu Gladys yang sakit itu meninggal. Jadi pengurus OSIS mau melawat ke sana."
Aku kaget. "Kapan, Kanya?"
"Siang ini. Baru aja. Kasihan ya, udah dua tahun koma. Paling nggak sekarang udah tenang."
Aku diam. Tidak tahu harus berkata apa.
"Itu apa?" Kanya menunjuk buku yang kubawa. Aku baru sadar, ternyata buku itu masih kupegang sedari tadi.
"Buku agenda Funan. Lagu dia bagus banget. Dia yang mau─"
"Siapa?" Kanya terkejut.
"Funan," aku mengedikkan kepala ke dalam ruangan. Baru saja ingin mengenalkan cowok itu kepada Kanya, ketika aku tersadar cowok itu sudah tidak ada di balik piano klasik tempatnya duduk tadi. Ke mana dia pergi? Tidak mungkin dia keluar dari ruangan ini tanpa terlihat olehku.
"Aki, Funan itu nama anak Bu Gladys. Kamu perlu kembalikan buku itu ke Bu Gladys," kata Kanya.
Aku tercengang. Tidak percaya.
***

0 Comments