Pelangi Kertas


Karena aku suka pelangi
Suka sekali
***

Aku dulu hidup di sebuah rumah kotor dengan seorang pria pemarah yang tidak kuketahui namanya. Pria itu suka memukulku, menciptakan luka-luka lebam di lenganku, di badanku. Di mana pun yang bisa dipukul.

“Bodoh! Sudah berapa kali kubilang. Jangan masuk ke kamarku! Tidur saja di kamarmu sendiri!” Pria itu melototkan matanya dan mengambil sapu untuk memukulku.
         
Airmata mengaliri pipiku. Aku ingin memohon supaya dia berhenti memukul, tapi pita suaraku tidak mampu menciptakan bunyi-bunyian yang aku inginkan. Setelah puas memaki dan mendorongku keluar kamar, orang itu membanting pintu kamarnya di depan hidungku.

Aku masih menangis.

Tapi aku ingat itu adalah hari terakhirnya ia membuatku menangis. Hari itu si tukang pukul memelukku. Dia membasahi bajuku yang usang dengan airmata.

Tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku tidak suka karena bajuku terasa basah dan lengket. Tapi entah kenapa, sebagian diriku merasa senang, sekaligus bingung.

“Maaf, Nak. Mulai hari ini kau tidak akan kena pukul lagi. Maaf,katanya berulang-ulang. Aku mengangguk meski tak tahu apa maksudnya.

Pria itu membelikanku baju bagus yang selama ini kulihat hanya dipakai oleh anak-anak yang memiliki dua tangan dan bisa berbicara.

“Rumah itu bagus, ya, Dinda?” Pria itu menunjuk sebuah rumah besar yang dipenuhi anak-anak tengah bermain dan tertawa. Aku mengangguk setuju.

“Kita ke sana, ya?” pintanya.

Aku mengangguk lagi. Pria itu menyuruhku bermain bersama anak-anak bertangan dua yang bajunya selusuh baju lamaku.

“Namamu siapa?” tanya salah satu dari mereka.

Kamu pemalu, ya? Namaku Berlian. Kenapa tanganmu cuma ada satu?” tanyanya polos.

Aku melirik tanganku yang tidak ada dengan sedih. Cuma ada sebentuk daging tumpul menggantung di sana.

Kenapa tidak menjawab? tanya Berlian lagi. Dalam sekejap aku telah dikelilingi anak- anak yang ingin tahu.

Beberapa mengajukan pertanyaan seperti Berlian. Beberapa lagi mencoba menyentuh lenganku yang buntung. Aku menangis, tidak nyaman, bingung, dan ingin mereka berhenti.

Seorang wanita bertudung lebar mendekati kami. “Eh, eh, ini ada apa? Jangan begitu dong sama Dinda. Dia ini kan teman baru kalian,” katanya lembut sembari mengusap ubun-ubunku.

Dinda?

Kenapa wanita ini memanggilku dengan sebutan yang sama dengan lelaki yang selama ini tinggal bersamaku? Kudengar Berlian dan yang lainnya berbisik-bisik sambil sesekali cekikikan di dekatku. Tapi aku tak peduli.

Di mana orang yang mengajakku kemari? Aku ingin pulang ke rumah.

Wanita itu berlutut didepanku untuk mengimbangi badanku yang pendek.

“Dinda yang cantik, Dinda mau kan tinggal di sini?”

Mataku melebar. Sedetik kemudian pandanganku kabur oleh airmata. Aku menggeleng keras tidak mau. Aku ingin pulang.

Kakak itu memegangi kedua bahuku, “Tidak apa-apa, Kak Aish yakin Dinda pasti akan bahagia disini. Ada Berlian, Annan dan yang lainnya yang akan mengajak Dinda bermain.”

Aku berhenti meronta. Kakak itu menatapku tulus.

Jadi inilah sebabnya, mengapa aku mendapatkan hal-hal yang tidak pernah aku dapatkan setiap harinya. Karena dia tidak ingin tinggal bersamaku lagi.

Aku diam, masih dengan pipi yang basah. Rasanya ada semacam paku tak kasat mata yang menancap di jantungku tanpa seorangpun tahu. Tidak juga aku. Yang pasti, paku itu semakin hari semakin berkarat dan menimbulkan rasa sakit di dadaku.

Tapi waktu adalah pelari terbaik di dunia. Lambat laun, aku mulai bisa menerima bahwa aku tak diinginkan dan tinggal di panti asuhan bersama anak-anak tak diinginkan lainnya. Terkadang aku mendengar orang-orang dewasa berbisik tentangku, berbicara tentang laki-laki bernama Ayah yang pergi begitu saja.

Tadinya kupikir, anak-anak normal di rumah besar ini akan menjauhiku seperti yang dilakukan anak-anak normal di rumah Ayahku. Tapi Berlian, Annan, Rizal dan teman-teman baruku di sini baik sekali.

Mereka suka mengajakku adu lari. Siapa yang duluan sampai di bukit, ia yang menang. Dan kadang, kalau kami beruntung, selepas hujan, kami akan menemukan pelangi rebahan di langit di atas kami.

Aku suka pelangi, suka sekali.

Setiap malam, Kak Aish, pengurus panti kami, suka membacakan dongeng pangantar tidur. Aku suka mendengarkan cerita, meskipun aku tahu, aku tidak bisa menceritakannya kembali.

Cerita favoritku adalah cerita tentang seorang pemuda desa yang jatuh cinta pada seorang bidadari yang sedang mandi. Saking cintanya, pemuda itu sampai mencuri selendang bidadari itu. Bidadari itu tidak bisa pulang ke surga karena selendangnya hilang. Akhirnya mereka menikah dan punya anak.

Tapi suatu hari, sang bidadari menemukan selendangnya di lumbung padi suaminya. Karena telah menemukan selendangnya kembali, bidadari itu pulang ke surga dan meninggalkan suami dan anaknya.

Terkadang aku berpikir, kalau aku punya seorang ayah, aku pasti juga punya seorang ibu. Sama seperti Berlian yang telah kehilangan keduanya. Hanya saja bedanya, ayahku masih hidup, sedangkan ibuku entah di mana.

Sempat terlintas di benakku, jangan-jangan aku ini anak bidadari itu. Ayahku sering mengamuk tanpa sebab, mungkin sebenarnya Ayah marah karena Ibu telah menemukan selendangnya dan terbang ke surga.

Karena itu Ayah jadi pemarah dan suka memukul.

Aku percaya pelangi itu jembatan antara surga tempat kami tinggal dan surga tempat bidadari tinggal. Aku suka memandanginya, berharap ada bidadari turun dan mengecup keningku. Aku ingin tahu seperti apa ibuku. Kalau benar ibuku seorang bidadari, ia pasti cantik sekali. Tapi kalau ia cantik, mengapa aku cacat?

Kulirik wajahku di cermin.

Aku tidak jelek. Aku hanya cacat. Seorang bidadari pasti boleh memiliki anak yang cacat.

Suatu hari, ketika aku sedang memandangi pelangi di bukit kami bersama Berlian, Kak Aish datang memanggilku. Wajahnya kelihatan berseri.

“Dinda, ada yang ingin bertemu Dinda.”

Berlian dan aku bertukar pandang.

“Aku nunggu di sini aja deh,” ucap Berlian dengan senyum mengambang.

Aku beranjak dari rumput basah yang kududuki dan melempar isyarat sampai jumpa pada pelangiku. Lalu mengikuti Kak Aish kembali ke rumah.

Di sana seorang wanita cantik terduduk di sofa kesayanganku dan Berlian. Rambutnya cokelat  tua bergelombang.

“Bu Nawang?” panggil Kak Aish. Wanita itu menoleh kaget. “Ini Dinda,” kata Kak Aish lagi, kali ini dengan menyebutkan namaku.

Wanita itu memandangiku selama beberapa detik sebelum akhirnya menghambur ke arahku dan memelukku.

Ini siapa?

“Dinda? Ini Dinda?” Wanita itu memandang ke dalam mataku. Aku balas memandang matanya yang berkaca-kaca. Kenapa setiap orang yang memelukku selalu menangis?

“Ini Dinda?” Wanita itu menglang pertanyaan yang sama.

Aku mengangguk.

Wanita itu kembali memelukku, kali ini lebih erat. “Dinda, ibu kangen Dinda. Ibu sayang sekali sama Dinda. Dinda kemana aja selama ini?”

Ibu?

Ini Ibuku? Apa Ibu bidadari? Di mana selendangmu?

“Dinda kangen nggak sama Ibu?”

Aku diam.

“Dinda, kenapa Dinda diam saja?” tanya Ibu itu.

Kak Aish kemudian menjelaskan kalau aku bisu. Wanita itu tertegun, air matanya mengalir semakin deras.

Ibu, Ibu kan bidadari. Ibu tidak boleh menangis. Tanpa sadar air mataku turun tanpa kuminta.

“Tidak apa-apa, Dinda. Ibu sayang Dinda.” Wanita itu menghapus air mataku.

Dia meminta izin pada Kak Aish dan pengurus panti yang lain untuk mengajakku jalan-jalan ke kota.

Ibu itu baik sekali, dia membelikanku boneka besar dan mengajakku makan di tempat yang bagus sekali. Aku suka sekali ayamnya yang kriuk-kriuk, dengan saus sambal yang pedas, juga kentang goreng yang dicocol di saus aneh warna kuning, yang ternyata enak rasanya.

Orang-orang memandangiku. Mungkin mereka bertanya-tanya kenapa aku makan dengan tangan kiri dan di mana kusembunyikan tangan kananku.

“Jangan dihiraukan, Dinda. Enak nggak?” tanya Ibu.

Aku mengangguk.

“Lain kali kita ke sini lagi, ya?” tawarnya sembari menyuguhkan senyum indah. Senyum seorang bidadari.

Aku mengangguk antusias.

Kami pulang ke panti asuhan sore harinya. Teman-temanku merubungku untuk mendengar ceritaku. Tentu saja aku tidak dapat berbicara, tapi setelah beberapa lama aku tinggal di sini, mereka mulai mengerti bahasa tubuh yang aku gunakan.

“Wuih, asyik, ya, Dinda,” komentar Annan kepingin.

“Makanannya pasti enak, ya?” tanya Rizal sambil mengecap-ngecapkan lidahnya. Mengkhayal bisa ikut merasakan makanan yang kucicipi tadi siang di lidahnya.

Aku mengacungkan jempolku tanda setuju.

“Bonekanya besar, ya? Tidak seperti punyaku,” ucap Ratih.

Aku meletakkan boneka itu di pangkuannya.

“Aku boleh pinjam?” tanyanya ragu.

Aku mengangguk dan tersenyum.

Satu yang janggal di hatiku sore itu, Berlian tidak ikut memberondongku dengan pertanyaan seperti saat pertama kali aku ke sini. Dia hanya terdiam di kasur tidurnya.

Tadinya kukira dia tertidur, tapi kulihat matanya terbuka.

Aku berbaring di sampingnya.

“Aku tadi menunggumu di bukit,” ucapnya memulai pembicaraan.

Aku menatapnya. Berlian balas menatapku dengan matanya yang besar.

“Kupikir kau akan secepatnya kembali,” ujarnya sambil menutup mata.

Aku menunggu kata-kata berikutnya yang akan dia sampaikan. Tapi ternyata tidak ada lagi.

Seandainya aku bisa bicara, aku ingin mengingatkannya, tidur sore itu tidak baik. Tapi biar sajalah.

Aku sedang ingin mengkhayal tentang bidadari bersayap pelangi.

Malam harinya, Kak Aish tidak mendongengkan kami kisah-kisah ajaib seperti biasanya. Dia memanggilku khusus untuk bicara.

Katanya, Ibu dan Ayahku bercerai saat aku bayi. Ayah lalu memutuskan untuk mengasuhku. Aneh sekali, karena Ayah justru pergi meninggalkanku. Kak Aish juga bilang, akibat perceraian itu, Ibu tidak pernah bertemu denganku. Karena mendapat kabar aku ditinggalkan di panti asuhan, Ibu datang untuk menjemputku.

Aku ingat bahwa sebelumnya belum pernah aku merasa sebahagia ini. Bahwa ternyata, ada bidadari betulan yang berbaik hati untuk merawatku. Dan bidadari itu adalah Ibuku.

“Bu Nawang janji akan ketemu Dinda besok, kan?”

Aku mengangguk.

“Berarti mulai besok, Dinda akan tinggal bersama Ibu Dinda.”

Aku diam.

Aku akan tinggal di rumah Ibu. Tidak ada Berlian dan teman-teman di rumah Ibu.

Kak Aish mengeluarkan selembar kain bermotif pelangi dan memasangkannya di kepalaku. "Cantiknya," ucapnya sambil tersenyum, "Tadi Kakak kasih kerudung yang sama ke Ibu Dinda. Kalian punya kerudung kembaran."

Kami berdua tertawa.

“Bagus. Anak cantik. Kak Aish sayang sekali sama Dinda.” Kak Aish menciumi kening dan ubun-ubunku.

Dinda juga, Kak. Dinda sayang juga sayang Kak Aish.
***
            
Ibuku akan datang pukul sepuluh nanti. Aku menunggu dengan tidak sabar di kamar.

Kak Aish memakaikanku baju bekas yang masih bagus rupanya. Kak Aish juga menata rambutku agar terlihat cantik.

Di luar gerimis, padahal aku ingin melakukan adu lari untuk yang terakhir kalinya bersama teman-teman. Tapi karena gerimis itu, kami semua terpaksa berdiam diri di rumah panti tanpa melakukan apa-apa.

Aku mendekati Berlian. Dia masih belum bicara padaku sejak kemarin sore.

Aku menepuk pundaknya.

“Hey, Din,” sapanya suram. Kulihat ada jejak air mata di wajahnya.

Aku mengisyaratkan pertanyaan ‘ada apa’.

“Tidak apa-apa. Kau menyesal tidak pernah tinggal di rumah ini?”

Aku menggeleng keras.

“Aku juga tidak. Kalau aku tidak di sini, aku tidak akan bertemu kau.” Berlian tersenyum samar. 

“Aku cuma berharap, ada satu saja orangtuaku yang masih hidup dan mengajakku tinggal bersama lagi.”

Berlian menundukkan kepalanya. Bahunya terguncang dan pangkuannya basah. Dia pasti menangis.

Aku bingung harus bagaimana.

Jadi ini alasannya. Alasan mengapa Berlian tidak mau mengajakku bicara belakangan ini.

Berlian akhirnya meninggalkanku untuk membantu kakak pengurus panti yang sedang memasak untuk makan siang. Aku tetap menunggu di kamar. Meskipun masih gerimis, tapi ini mendekati pukul sepuluh.

Ibu pasti sedang dalam perjalanan sekarang.

Entah kenapa, gerimis masih belum mau berhenti hingga siang harinya.

Sekarang sudah pukul dua lebih. Lewat empat jam dari janjinya.

Kenapa Ibu belum datang?

Apa Ibu telah melupakan janjinya padaku kemarin? Aku beranjak keluar dari kamar. Aku berharap, ada seorang bidadari cantik duduk di sofa kesayangan kami seperti kemarin. Tapi yang kutemukan di sana hanya jejaknya saja.

Kulirik Kak Aish yang mondar-mandir di dekatku. Tuhan, kalau aku bisa bicara, aku ingin bertanya padanya, kapan Ibu akan datang? Kenapa ia lama sekali?

Aku sudah tidak sabar. Kulirik jam dinding lagi. Pukul tiga sore.

Kurasakan airmataku membludak dari pelupuk mataku. Ibu tidak akan datang. Ibu mengingkari janjinya. Ia seperti Ayah yang tidak menginginkanku. Ibu pembohong. Kutelan bulat-bulat kenyataan itu.

“Dinda jangan menangis, sebentar lagi Ibu Dinda akan datang.” Kak Aish berusaha menghiburku. Tapi aku dapat mencium keraguan dalam suaranya.

Tidak, Ibu tidak akan datang. Aku menggeleng.

Tiba-tiba telepon berbunyi. Kak Aish meninggalkanku untuk mengangkatnya.

Aku meringkuk di sofa. Menangis.

Kudengar Kak Aish dan pembicara di telepon itu berbicara dengan suara rendah.

Itu pasti Ibu. Ibu pasti bilang pada Kak Aish kalau ia tidak mau punya anak cacat. Sama seperti Ayah. Kak Aish menghampiriku. Matanya berurai air mata. Dia memelukku, menciumiku keningku. “Kak Aish sayang sekali sama Dinda.”

Ada apa? Kenapa Kak Aish menangis?

“Maafkan Ibu Dinda. Ibu tidak bisa datang. Tapi Ibu Dinda juga menyayangi Dinda. Sama seperti Kak Aish.”

Aku tidak mengerti maksud Kak Aish.

“Ibu Dinda meninggal.” Kak Aish lagi-lagi terisak.

Aku termenung, berusaha mencerna makna kalimat barusan. Ibu meninggal?

“Ibu Dinda kecelakaan sewaktu ingin kemari,” terang Kak Aish lagi.

Aku menangis. Tidak mungkin, Ibu tidak mungkin meninggal. Meninggal itu untuk orang-orang jahatseperti tokoh jahat yang diceritakan Kak Aish tiap malam. Ibu orang baik, Ibu pasti tidak meninggal.

“Maaf, Dinda,” Kak Aish berusaha memelukku, tapi aku berlari ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat.

Berlian terkejut karena aku memba
nting pintu di depannya. Tapi aku lebih terkejut karena matanya juga sembab.

“Aku dengar,” ucapnya pelan tanpa kuminta.

Kami menangis dalam diam untuk beberapa lama. Tapi kemudian Berlian mengusap air matanya. Dia menggandeng tanganku.

“Ikut aku,” ajaknya sambil membuka pintu kamar.

Kak Aish masih menangis di tempatnya. Aku ingin mendekatinya, tapi Berlian lebih dulu membawaku keluar rumah.

Hujan rintik-rintik telah reda, hanya meninggalkan bekasnya di rerumputan yang kami injak.

“Yang duluan sampai di bukit menang!” serunya sambil berlari.

Aku terdiam sejenak.

“Dinda kalah!” teriaknya sambil tertawa.

Aku cemberut. Tidak mau, aku tidak mau kalah. Aku ikut berlari. Sekuat tenaga aku berusaha mengejarnya meskipun akhirnya, aku tetap kalah.

“Tidak apa-apa, lain kali bisa menang,” hibur Berlian.

Aku tersenyum. Kami rebahan di bukit. Di atas kami, membentang pelangi indah bagai karpet raksasa. Aku tahu. Ibuku sudah menemukan selendangnya dan kembali ke surga. Kak Aish yang memberikan selendang itu padanya.

“Kau percaya pelangi itu jembatan antara tempat tinggal kita dengan surga?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Aku melihat, orangtuaku dan ibumu sedang minum teh bersama di jembatan itu,” kata Berlian sambil tersenyum. Ada kabut kerinduan di matanya. Aku memicingkan mata, berusaha melihat apa yang Berlian lihat. Tapi yang kulihat adalah sebuah pelangi rapuh setipis kertas yang siap dirobekkan kapan saja.
***

0 Comments