Drap…
drap… drap…
“Hihihihihi…”
Aku berlari ketakutan. Duh, kenapa aku ada di tempat mengerikan seperti ini? Dikejar kuntilanak pula. Tapi aku tidak boleh putus asa. Selama aku masih punya kaki, aku harus tetap berlari.
“Hihihihi…”
Kuntilanak itu terkikik nyaring. Bikin orang takut saja. Sesekali aku melompat supaya tidak jatuh tersandung batu-batu nisan yang menongol dari tanah. Hiyy… bagiku itu tak ubahnya tangan yang mau menarikku ke kubur. Tidur bersama jasad-jasad yang minta dipeluk
Mataku merem, aku tidak mau membayangkan hal-hal mengerikan lagi. Kata nenekku, mungkin saja bayangan yang terlintas di kepalamu itu menjadi nyata.
“Hihihihihi…”
Lagi-lagi tawa penunggu pohon asem itu.
Jedug!
Kakiku tersandung batu nisan. Kontan saja tubuhku rubuh ke tanah. Kuntianak penunggu pohon asem itu mendekat.
“Aaahh… jangan!” jeritku.
“Kena kau. Hihihihi…” si Kuntilanak mengikik nyaring, dia mengulurkan kedua tangannya.
“Jangan bawa aku!” seruku padanya, “Jangan!!!”
Mataku melek kaarena mendengar suara ribut-ribut di sekitarku. Lho, apa ada yang salah dengan mataku? Satu, dua, empat—empat kuntilanak di dekatku. Aku kepingin lari sekencang-kencangnya saat itu juga. Tapi tangan dan kakiku tidak bisa bergerak.
“Hihihi… ini dia calon pengantin pria kakak. Hihihihi…” Kuntilanak yang tadi mengejarku bersuara.
Aku bergidik.
“Aku nggak mau dikawinin kamu. Lepasin!” Aku berontak.
“Hihihihihi…” keempat kuntilanak itu tertawa.
“Haarus mau! Hihihihi…” Kuntilanak yang ingin mengawiniku melototkan matanya. Dia mendekatkan mukanya yang tak simetris. Kontan bau jigong menyerbak.
Aku menelan ludah.
Semuanya berawal dari pohon asem. Malam itu, aku sedang jaga malam bareng rekanku, Asep. Tapi Asep ketiduran di pos jaga. Dan aku sebagai satpam yang baik, akhirnya keliling sendirian. Karena kecapekan, aku memutuskan untuk istirahat sebentar di bawah pohon asem dekat kuburan. Tanpa sengaja, aku terkentut di sana.
Dan sekarang, empat kuntilanak bersaudari merubungku, dan salah satunya mengajakku kawin.
“Tidak!!!” Aku menjerit.
“Harus mau, hihihihihi… kalau tidak…” Kuntilanak itu berpura-pura menggorok kepalanya sendiri dengan jari.
“Kasih aja ciuman maut kakak, hihihihi…” kuntilanak yang kelihatannya lebih muda sumbang opini.
“Ide bagus, hihihihi...”
Kuntilanak entah sipa namanya itu memonyongkan bibirnya hendak mencium.
“Jangan!” seruku. Kuntilanak itu batal menciumku, “aku—” aku menarik napas, “—akan menikahimu.”
Kuntilanak itu kelihatan girang. Dia melonjak-lonjak senang. Diikuti kuntilanak yang lainnya. Huh, dasar latah semua.
“Tapi dengan syarat,” ucapku.
Kuntilanak itu berhenti melonjak-lonjak, “hihihi, apa?”
“Di sini agak panas. Jalan-jalan sebentar yuk,” ajakku sambil mengedipkan mata.
Kunti-kunti bersaudara itu saling pandang. Tapi akhirnya dia mengiyakan. Sekarang giliranku melonjak girang. Dia membuka pintu.
Wush… udara malam bikin merinding.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berlari sekencang-kencangnya. Kuntilanak-kuntilanak itu kelihatan syok.
Tapi aku tidak peduli.
Tangan dan kakiku masih terikat, jadi aku lari melompat-lompat. Herannya, lariku cepat dan terasa ringan sekali.
“Tolong!!! Saya dikejar kuntilanak. Tolong!” lolongku pada penduduk desa ketika aku makin dekat dengan perkampungan.
Penduduk desa memandangiku tanpa berkedip untuk sedetik sebelum balik menjerit.
“Aya jurig!” seru mereka.
Aku mendekati salah satu dari mereka. Kuntilanak itu pasti sudah nongol dan mendekati mereka.
“Lumpat! Aya jurig!”
“Eta jurig si Mansyur!”
Eh? Aku berhenti melompat.
“Eta jurig si satpam Mansyur. Satpam maot dina tangka asem!”
“Lumpat! Lumpat!”
Dan aku menganga.
“Hihihihihi…”
Aku berlari ketakutan. Duh, kenapa aku ada di tempat mengerikan seperti ini? Dikejar kuntilanak pula. Tapi aku tidak boleh putus asa. Selama aku masih punya kaki, aku harus tetap berlari.
“Hihihihi…”
Kuntilanak itu terkikik nyaring. Bikin orang takut saja. Sesekali aku melompat supaya tidak jatuh tersandung batu-batu nisan yang menongol dari tanah. Hiyy… bagiku itu tak ubahnya tangan yang mau menarikku ke kubur. Tidur bersama jasad-jasad yang minta dipeluk
Mataku merem, aku tidak mau membayangkan hal-hal mengerikan lagi. Kata nenekku, mungkin saja bayangan yang terlintas di kepalamu itu menjadi nyata.
“Hihihihihi…”
Lagi-lagi tawa penunggu pohon asem itu.
Jedug!
Kakiku tersandung batu nisan. Kontan saja tubuhku rubuh ke tanah. Kuntianak penunggu pohon asem itu mendekat.
“Aaahh… jangan!” jeritku.
“Kena kau. Hihihihi…” si Kuntilanak mengikik nyaring, dia mengulurkan kedua tangannya.
“Jangan bawa aku!” seruku padanya, “Jangan!!!”
***
Mataku melek kaarena mendengar suara ribut-ribut di sekitarku. Lho, apa ada yang salah dengan mataku? Satu, dua, empat—empat kuntilanak di dekatku. Aku kepingin lari sekencang-kencangnya saat itu juga. Tapi tangan dan kakiku tidak bisa bergerak.
“Hihihi… ini dia calon pengantin pria kakak. Hihihihi…” Kuntilanak yang tadi mengejarku bersuara.
Aku bergidik.
“Aku nggak mau dikawinin kamu. Lepasin!” Aku berontak.
“Hihihihihi…” keempat kuntilanak itu tertawa.
“Haarus mau! Hihihihi…” Kuntilanak yang ingin mengawiniku melototkan matanya. Dia mendekatkan mukanya yang tak simetris. Kontan bau jigong menyerbak.
Aku menelan ludah.
Semuanya berawal dari pohon asem. Malam itu, aku sedang jaga malam bareng rekanku, Asep. Tapi Asep ketiduran di pos jaga. Dan aku sebagai satpam yang baik, akhirnya keliling sendirian. Karena kecapekan, aku memutuskan untuk istirahat sebentar di bawah pohon asem dekat kuburan. Tanpa sengaja, aku terkentut di sana.
Dan sekarang, empat kuntilanak bersaudari merubungku, dan salah satunya mengajakku kawin.
“Tidak!!!” Aku menjerit.
“Harus mau, hihihihihi… kalau tidak…” Kuntilanak itu berpura-pura menggorok kepalanya sendiri dengan jari.
“Kasih aja ciuman maut kakak, hihihihi…” kuntilanak yang kelihatannya lebih muda sumbang opini.
“Ide bagus, hihihihi...”
Kuntilanak entah sipa namanya itu memonyongkan bibirnya hendak mencium.
“Jangan!” seruku. Kuntilanak itu batal menciumku, “aku—” aku menarik napas, “—akan menikahimu.”
Kuntilanak itu kelihatan girang. Dia melonjak-lonjak senang. Diikuti kuntilanak yang lainnya. Huh, dasar latah semua.
“Tapi dengan syarat,” ucapku.
Kuntilanak itu berhenti melonjak-lonjak, “hihihi, apa?”
“Di sini agak panas. Jalan-jalan sebentar yuk,” ajakku sambil mengedipkan mata.
Kunti-kunti bersaudara itu saling pandang. Tapi akhirnya dia mengiyakan. Sekarang giliranku melonjak girang. Dia membuka pintu.
Wush… udara malam bikin merinding.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berlari sekencang-kencangnya. Kuntilanak-kuntilanak itu kelihatan syok.
Tapi aku tidak peduli.
Tangan dan kakiku masih terikat, jadi aku lari melompat-lompat. Herannya, lariku cepat dan terasa ringan sekali.
“Tolong!!! Saya dikejar kuntilanak. Tolong!” lolongku pada penduduk desa ketika aku makin dekat dengan perkampungan.
Penduduk desa memandangiku tanpa berkedip untuk sedetik sebelum balik menjerit.
“Aya jurig!” seru mereka.
Aku mendekati salah satu dari mereka. Kuntilanak itu pasti sudah nongol dan mendekati mereka.
“Lumpat! Aya jurig!”
“Eta jurig si Mansyur!”
Eh? Aku berhenti melompat.
“Eta jurig si satpam Mansyur. Satpam maot dina tangka asem!”
“Lumpat! Lumpat!”
Dan aku menganga.
***

0 Comments