Aku dan Kura-Kura




Ini kali keseratusnya aku dilarikan ke rumah sakit karena penyakit jantung. Jantungku bocor, kata dokter. Aku sebal, mendengar kata bocor itu seperti mendengar sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.

“Luna mau apa? Nanti pasti Ayah belikan.” Ayah menanyaiku suatu hari. Tapi aku diam saja. Ayah sudah membujukku berkali-kali, berharap sebuah benda mahal bisa mengembalikan senyumku. Tapi aku selalu diam.

Aku hanya ingin hidup lebih lama. Kupandangi anak-anak yang bermain di taman rumah sakit melalui jendelaku.

“Luna?” panggil Ayah.

Aku berhenti memandangi jendela dan berpaling pada ayah yang menatapku tulus.

“Luna ingin dibelikan apa? “ tanyanya sekali lagi. “Ayah mohon apapun yang Luna minta, pasti Ayah belikan. Yang penting Luna jangan sedih.’’

Aku berhenti memandangi jendela dan berpaling pada Ayah yang menatapku tulus. “Ayah, apa dokter-dokter itu sudah menemukan pendonor jantung buat Luna?”

Ayah terlihat kepayahan menjawab pertanyaanku barusan.

“Yah,” panggilku.

“Segera sayang,” jawabnya. “Segera.”

Aku kembali larut dalam kebisuan. Sebenarnya dalam hati aku ingin memeluk Ayah dan mengatakan hal-hal baik padanya. Ibuku sudah terlebih dahulu menghadap Tuhan di surga. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana kehidupan Ayah nanti setelah aku tiada.

Aku tidak bisa berkata banyak. Takut kalau-kalau Ayah mengingatnya terus nanti.

Setiap hari, Ayah selalu membawakan komik-komik lucu dan novel romantic kesukaanku. Tapi aku hampir-hampir tidak pernah menyentuhnya. Aku tidak mau berharap banyak seperti tokoh-tokoh dalam cerita. Mereka bisa sembuh, tapi itu toh cuma cerita.

“Luna, Ayah bawa komik-komik bagus lho. Nih, coba deh baca,” kata Ayah sambil mengulum senyum. Aku menggeleng dan menepis uluran komik itu dengan satu tangan. Ayah tersentak.

“Gak mau baca,” ucapku ketus.

Kulihat wajah Ayah seperti terluka. “ Mau Luna apa? Luna pengin dibelikan hape baru? Atau jam tangan? Bilang sama Ayah, nanti pasti Ayah belikan. Tapi jangan membisu seperti ini. Ayah bingung. Ayah nggak tahu harus bagaiman lagi. Luna jangan diam seperti ini.”

Rentetan kalimat keluar dari bibir Ayah, mungkin mewakili perasaannya selama beberapa hari terakhir ini.

Airmataku turun deras ketika melihat Ayah membalikkan punggungnya.

Ayah jangan pergi. Luna cuma ingin ditemani.

Perasaanku membludak di dalam seperti balon besar yang entah kapan akan meletus.

Tapi Ayah tetap pergi, meninggalkanku yang terisak parau di ruangan menyedihkan ini. Ayahu belum mau kembali hingga sore. Yang aku tahu, aku masih menangis.

Tiba-tiba pintu ruanganku ditutup dengan sangat keras. Aku terlonjak dari ranjangku. Seorang anak lelaki seusiaku bersembunyi di balik pintu ruanganku.

“Siapa kamu?” tanyaku curiga. Ngapain dia di sini? Apa dia mau berbuat jahat padaku?

“Sssstttt… aku masih sembunyi,” jawabnya. Sepertinya dia pasien juga.

“Iya, aku tahu. Kenapa sembunyi di ruanganku?” tanyaku ketus.

Dia mendekati ranjangku. “Main petak umpet sama dokter,” jawabnya sambil menyuguhkan cengiran lebar.

“Pergi sana! Sembunyi aja di tempat lain,” ujarku dengan nada mengusir. Cowok kelihatan kaget, dia menatapku lekat-lekat.

“Kamu habis nangis, ya ?” dia malah bertanya. Aku berusaha menyembunyikan wajahku dengan rambutku yang terurai.

“Bukan urusanmu.”

“Enggak papa kok kalo nggak mau cerita.” Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum. “Hei, ada komik-komik bagus.” Dia meraih salah satu komikku dan membuka-buka isinya.

“Jangan pegang-pegang. Itu milikku,” sahutku sambil cepat-cepat merebut komik itu darinya.

Dia mencibir. “Dasar pelit.”

“Sudah pergi sana!” aku menggertak.

Dia tidak beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya kelihatan sedih.

“Kenapa diam saja? Sana pergi!” usirku tidak sabar.

“Maaf, kalau aku mengganggu. Tapi aku mohon, biarkan aku sembunti di sini. Kalau dokter dan perawat-perawat itu menemukanku, aku pasti dipaksa nelan obat-obat menjijikkan itu lagi,” jawabnya.

Aku termenung. Obat-obat yang harus kuminum pun tidak kalah menjijikkannya. Rasanya bimbang antara pahit dan hambar yang bikin mual.

“Kau sakit apa?” tanyaku padanya.

“Talasemia,” ucapnya ringan.

Aku mengerutkan dahi. Orang sakit kok jawabnya seringan itu. Aku ingin lupa kalau di dunia ini banyak sekali orang-orang sakit sepertiku.

“Kok diam?”

“Memangnya aku harus bicara apa?” aku setengah membentak.

“Kau sakit apa?” tanyanya. Mengulang pertanyaan yang samamungkin.

“Kenapa aku harus cerita?”

“Karena kita sama-sama sakit.” Dia tersenyum lagi.

“Kau ini suka memaksa, ya.” Tanpa sadar aku ikutan tersenyum.

Pintu kamarku menjeblak terbuka.

“Ternyata kamu di sini, Zakka.” Seorang dokter berkacamata berdecak kesal. Ia lalu mengajak Zakka yang kelihatan terpaksa meninggalkan ruanganku.

“Kapan-kapan kita bicara lagi, ya. Kau kan belum cerita,” katanya di balik punggung dokter itu. “Siapa namamu?”

“Luna.”

Zakka tersenyum kepadaku.

Setelah kepergiannya, lagi-lagi ruanganku menjadi senyap. Aku berharap Ayah yang dating saat aku mendengar pintu ruanganku kembali terbuka. Tapi yang muncul adalah seorang perawat yang membawa bubur tanpa rasa untuk kumakan.
***

Dan Zakka benar-benar menepati janjinya.

Dia datang ke ruanganku lagi keesokan harinya. Tapi Ayah belum datang, itu membuatku sedih. Bubur hambar yang dibawakan perawat itu masih utuh tanpa kusentuh di atas meja.

Sama seperti nasib makanan lainnya yang berakhir tragis di tempat sampah.

Bukannya aku tak menghargai makanan. Hanya saja tiap kali lidahku mengecapnya, makanan itu terasa pahit dan membuatku muntah.

Mungkin aku sudah mati tanpa glukosa yang mengalir melalui selang infusku.

Sudah dua hari Ayah belum kembali. Dan selama itu pula Zakka menemaniku.

Kadang, dia berbaik hati untuk mengajakku ke taman dengan kursi roda─kaki-kakiku terasa seperti air tiap kali kugerakkan. Dia mengajakku ke taman yang biasanya hanya bisa kupandangi lewat kaca jendela.

“Hey, ada kura-kura.” Zakka menunjuk aquarium besar di koridor terbuka di dekat taman.

“Mana?”

“Itu lho.” Diarahkannya telunjuknya sekali lagi.

Aku tersenyum girang.

Sedetik kemudian Zakka mengajakku kesana. Berhadapan langsung dengan aquarium kura-kura penuh batu dengan air yang menurutku sangat sedikit.

“Kok airnya sedikit, ya?” tanyaku polos.

“Kalau kebanyakan ya mati.” Zakka menjitak kepalaku lembut.

Aku diam. Merenung sebentar. Aku teringat kucing temanku, ayam-ayam yang disembelih, kura-kura itu. Kalau mereka mati akan dikemanakan jiwa mereka?

“Kalau mereka mati, mereka akan kemana?”

“Maksudmu?”

“Apa ada surga dan neraka buat hewan?” tanyaku lagi. Kupikir Zakka akan tergelak mendengar pertanyaan bodohku barusan. Tapi diluar dugaanku, raut mukanya serius.

“Nggak tahu. Anjingnya Ashabul Kahfi aja masuk surga. Tapi nggak tahu gimana nasib kura-kura itu setelah mati.”

Aku diam. Memandangi seekor kura-kura yang kepayahan memanjat sebuah batu.

“Kura-kura itu umurnya panjang lho. Bisa sampai seabad, kayak kura-kura Galapagos yang sekarang sudah mati Tapi kalau kura-kura yang seperti ini paling cuma belasan tahun.”

“Aku pengin jadi kura-kura,” celetukku tanpa berpikir panjang.

“Bodoh. Kura-kura itu kan lamban,” ejek Zakka.

Kalau melihat kondisiku yang sekarang, sepertinya aku sudah menjadi kura-kura.

“Tapi katamu, kura-kura itu berumur panjang. Paling tidak, aku tidak akan merasa takut karena kematian seolah membuntutiku.” Dan Ayah tidak akan seperti ini.

“Yang bikin umur kita pendek kan kita sendiri.” Zakka menggumam lirih. Dia tersenyum.

“Aku nggak pernah minta sakit pada Tuhan.”

Senyum Zakka memudar. “Bukan gitu maksudku. Kalau umurmu panjang tapi kamu tidak bisa melakukan hal berharga seperti kura-kura dalam aquarium itu, apa masih bisa dikatakan hidupmu panjang?”

Kata-kata itu menghujam masuk ke jantungku yang rusak.

Zakka berhenti memandangku. Lalu membuang pandangannya ke arah lain. “Ayo kita pulang,” ajaknya.

Aku tersenyum kecut.

Pulang?

Seakan-akan memang rumah sakit inilah rumahku.

“Kapan-kapan lihat kura-kura lagi ya,” ajak Zakka.

Aku diam saja.

Seharian ini aku memikirkan Ayah.

Ayahku yang malang. Yang akan segera kehilangan anak gadisnya setelah kehilangan istrinya. Ayahku yang segera tak punya apa-apa.

Ayahku belum mengajakku bicara lagi. Bahkan untuk menungguiku pun tidak. Mungkin Ayah sudah pahm betul aku akan mati. Mungkin Ayah membenciku. Aku menundukkan kepala. Kurasakan airmata jatuh membasahi pangkuanku.

“Hey, kenapa menangis?” tanya Zakka.

Aku menggeleng. “Tidak apa-apa.”

“Bohong. Bahumu berguncang.” Dia berhenti mendorong kursi rodaku. Dan berjongkok di depanku. Aku tidak mempedulikan ocehan Zakka. Yang aku tahu, mataku tidak mau berhenti mengeluarkan airmata.

“Hey, Luna.” Zakka mengangkat daguku. Memandang ke dalam mataku. “Apa yang kamu takutkan?”

“Aku takut mati, aku belum siap.” Aku sesenggukan.

Zakka meraih tanganku, meletakkannya di atas dadanya. Kurasakan sesuatu berdetak cepat di sana. Entah karena apa.

“Dengar, setiap hari benda ini memompakan darah kotor ke seluruh tubuhku. Tidak terlalu berguna karena empat kali dalam sebulan, aku harus menjalani transfusi untuk mengganti darah itu. Kau tahu rasanya?”

Aku tidak menjawab. Kukerjapkan mataku untuk menghalau airmata yang hendak menerobos keluar.

“Sakit,” lanjut Zakka tanpa kuminta. “Kau tahu, ketika Tuhan memvonismu mati dan membiarkanmu hidup selama ini, itu cobaan terindah di dunia. Orang-orang tidak tahu kapan akan meninggal, karena itu mereka berbuat seenaknya. Tapi kita, kita istimewa karena setidaknya, kita bisa mengira-ira sisa umur kita dan menyiapkan kematian yang indah.”

Dia memaksaku untuk tersenyum dengan kata-katanya barusan.

“Dan saat kematian itu tiba kita pasti sudah siap,” ucapnya lagi. Diletakkannya tanganku di atas punggung tanganku yang lain.

“Ayo kita pulang.”

Kali ini aku menurut dan mengusap airmataku.
***

Malam itu aku terbangun. Dadaku rasanya sesak, sakit sekali. Dan tubuhku terasa lelah. Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya ada tangan besar yang meremas jantungku. Sakit sekali, hingga rasanya tidak kusadari wajahku basah oleh airmata.

“Luna,” panggil seseorang. “Luna kenapa?” tanyanya panik.

“Sakit, Ayah. Di sini.” Aku memegangi dada kiriku. Ayahku kalang kabut. Tangannya membabi buta mencari obat dan menyuruhku meminumnya.

Aku menggeleng. Rasa sakit di dadaku makin  menjadi-jadi. Tapi aku tak mau menelan benda menjijikkan itu.

“Luna, Ayah mohon,” pintanya.

Aku menggeleng lagi sementara airmataku turun semakin deras.

“Sedikit saja,” bujuknya.

Airmataku membanjir.

“Ayah mohon. Ayah janji ini terakhir kalinya Luna minum obat,” ucap Ayah lagi.

Aku menggeleng lemah. Tentu saja karena sebentar lagi aku akan meninggal.

“Luna.”

Kulihat rautmuka Ayah begitu tersiksa.

Aku melunak. Dengan berat hati kutelan obat pahit itu. Ayah kelihatan lega. Tapi hanya sebentar karena obat itu langsung aku muntahkan kembali.

“Ayah, maaf,” ucapku di sela-sela tangisku.

Ayah memelukku. Menciumi ubun-ubunku berkali-kali. “Tidak apa-apa.” Dibenamkannya wajahku dalam pelukannya. “Tidak apa-apa.”

Aku tahu Ayah memelukku supaya aku tidak melihatnya menangis bersamaku. Tapi aku merasakannya. Ayah menyayangiku.

“Ayah tidak pergi…” ucapku terbata, “… seperti kemarin?”

“Luna, permataku, bulanku. Ayah di sini. Setiap malam. Menungguimu. Ayah tidak pernah pergi. Ayah di sini. Selalu.” Suara Ayah serak.

Aku terisak cukup lama. Lalu kenapa Ayah tidak mengajakku bicara? Apa karena aku terus membisu?

Dadaku sesak sekali.

Entah karena sakitku, atau karena Ayah memelukku terlalu erat. Aku tak tahu.
***

Setelah kejadian semalam itu, aku berusaha untuk terlihat kuat di hadapan Ayah. Meski aku tahu semakin hari, jantungku semakin rusak.

Tapi hari ini semuanya berbeda.

Aku terduduk di kursi rodaku sore ini. Di depan aquarium kura-kura seperti biasanya. Hanya saja tanpa Zakka.

Ternyata sudah dua minggu sejak kami bertemu. Aku hidup. Dengan jantung baru. Dia tidak. Rasanya kau kehilangan konflik untuk kubicarakan.

Tapi satu hal, Zakka, darimanapun kamu bisa mendengarku. Di surga barangkali, aku tahu kau mendengar, atau paling tidak biar Tuhan yang menyampaikan pesanku.

Terima kasih.

Kau bodoh. Menguatkanku, padahal kau sendiripun lemah. Kenapa kau tidak bisa bertahan sampai transfusimu selesai dilakukan?

Aku seharusnya berbahagia, seperti katamu, Tuhan dan orang-orang yang mencintaiku masih ingin aku hidup.

Tapi Zakka, aku tidak merasa hidup.

Jantungku lah yang dikubur dan jantungmu yang hidup. Aku ingin hidup bersama-sama denganmu. Seperti kura-kura yang bebas.

Aku sedih. Tapi aku seharusnya berbahagia.

Setidaknya Ayahku tidak akan kehilangan siapa-siapa lagi. Terima kasih.

Aku tidak sadar airmataku meleleh. Setetes, dua tetes. Hasilnya sungai asin terbentuk di pipiku. Aku sudah boleh pulang hari ini. Tapi aku masih ingin disini.

Zakka meninggal karena Talasemia dan dia mendonorkan jantungnya untukku. Itu saja yang harus aku tahu.

Sebuah tangan besar menyentuh pundakku.

“Luna, ayo kita pulang,” ajaknya hangat.

Aku mengangguk tanpa suara.
***

0 Comments